Posted by : Unknown
Minggu, 16 Februari 2014
SITEM SELF ASSESMENT
Sistem Self Assessment
Menurut bagian penjelasan UU KUP bahwa self assessment adalah ciri dan corak sistem pemungutan pajak.Self assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk :
[a.] berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP [nomor pokok wajib pajak];
[b.] menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang.
Masih menurut penjelasan UU KUP bahwa sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Media atau surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak disebut Surat Pemberitahuan, disingkat SPT.
Kepercayaan yang diberikan oleh undang-undang kepada Wajib Pajak idealnya ditunjang dengan :
[a.] kesadaran Wajib Pajak tentang kewajiban perpajakan;
[b.] keinginan untuk membayar pajak terutang walaupun terpaksa;
[c.] kerelaan Wajib Pajak untuk menjalankan peraturan perpajakan yang berlaku;
[d.] kejujuran Wajib Pajak untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Salah satu bagian dari sistem self assessment adalah adanya daluwarsa penagihan yang di Pasal 22 UU KUP. Aturan terakhir, UU No. 28 tahun 2007, daluwarsa penagihan ditetapkan 5 (lima tahun saja)! Apa maknanya? Bahwa negara tidak memiliki hak untuk menagih atau memungut pajak setelah lewat 5 tahun. Berapapun utang pajak! Selain itu, SPT yang dilaporkan kepada DJP juga dianggap benar setelah 5 tahun.Secara hukum, setelah lewat 5 tahun, kewajiban perpajakan Wajib Pajak dianggap benar.
Hanya saja Pasal 22 ayat (2) UU KUP mengatur bahwa daluwarsa tersebut akan tertangguh atau mundur dari tahun pajak yang bersangkutan jika :
[a.] diterbitkan Surat Paksa;
[b.] ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
[c.] diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
[d.] dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam jangka waktu 5 tahun tersebut, DJP dapat melakukan koreksi terhadap SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui pemeriksaan. Menurut UU KUP, pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dari definisi pemeriksaan sudah jelas bahwa DJP hanya bisa melakukan koreksi atas isi SPT Wajib Pajak jika DJP memiliki data, keterangan dan bukti bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar. Jika DJP tidak memiliki data dan bukti atas ketidakbenaran SPT Wajib Pajak maka DJP tidak bisa melakukan koreksi walaupun si pemeriksa pajak sangat yakin bahwa SPT Wajib Pajak salah.Keyakinan si pemeriksa tidak bisa dijadikan dasar melakukan koreksi SPT. Bahkan teknik-teknik analisa yang dilakukan oleh pemeriksa juga tidak cukup untuk dijadikan dasar koreksi.
DJP boleh melakukan koreksi SPT jika ada bukti nyata*).Meminjam peraturan kepabeanan bahwa bukti nyata adalah bukti atau data berdasarkan dokumen yang benar-benar tersedia dan pada dokumen tersebut terdapat besaran, nilai atau ukuran tertentu dalam bentuk angka, kata dan/atau kalimat. Dokumen ini bisa berasal dari dokumen Wajib Pajak atau pihak lain.
Selain dokumen, keterangan juga bisa dijadikan dasar koreksi SPT. Sesuai definisi pemeriksaan di UU KUP bahwa pemeriksa pajak itu mengolah data, keterangan atau bukti.Saya menganggap bukti ini dokumen jika mengacu kepada aturan kepabeanan. Sedangkan keterangan tidak didefinisikan secara jelas [setidaknya setelah dicari di databese aturan perpajakan] kecuali dalam kamus bahwa keterangan adalah sesuatu yang menjadi petunjuk atau yang menyebabkan tahu. Jadi bisa saja keterangan ini informasi yang diberikan pegawai Wajib Pajak, pihak lain yang berhubungan dengan Wajib Pajak atau pihak lain yang independen. Apapun itu yang menyebabkan si pemeriksa pajak tahu bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.
[a.] berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP [nomor pokok wajib pajak];
[b.] menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang.
Masih menurut penjelasan UU KUP bahwa sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Media atau surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak disebut Surat Pemberitahuan, disingkat SPT.
Kepercayaan yang diberikan oleh undang-undang kepada Wajib Pajak idealnya ditunjang dengan :
[a.] kesadaran Wajib Pajak tentang kewajiban perpajakan;
[b.] keinginan untuk membayar pajak terutang walaupun terpaksa;
[c.] kerelaan Wajib Pajak untuk menjalankan peraturan perpajakan yang berlaku;
[d.] kejujuran Wajib Pajak untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Salah satu bagian dari sistem self assessment adalah adanya daluwarsa penagihan yang di Pasal 22 UU KUP. Aturan terakhir, UU No. 28 tahun 2007, daluwarsa penagihan ditetapkan 5 (lima tahun saja)! Apa maknanya? Bahwa negara tidak memiliki hak untuk menagih atau memungut pajak setelah lewat 5 tahun. Berapapun utang pajak! Selain itu, SPT yang dilaporkan kepada DJP juga dianggap benar setelah 5 tahun.Secara hukum, setelah lewat 5 tahun, kewajiban perpajakan Wajib Pajak dianggap benar.
Hanya saja Pasal 22 ayat (2) UU KUP mengatur bahwa daluwarsa tersebut akan tertangguh atau mundur dari tahun pajak yang bersangkutan jika :
[a.] diterbitkan Surat Paksa;
[b.] ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
[c.] diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
[d.] dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam jangka waktu 5 tahun tersebut, DJP dapat melakukan koreksi terhadap SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui pemeriksaan. Menurut UU KUP, pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dari definisi pemeriksaan sudah jelas bahwa DJP hanya bisa melakukan koreksi atas isi SPT Wajib Pajak jika DJP memiliki data, keterangan dan bukti bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar. Jika DJP tidak memiliki data dan bukti atas ketidakbenaran SPT Wajib Pajak maka DJP tidak bisa melakukan koreksi walaupun si pemeriksa pajak sangat yakin bahwa SPT Wajib Pajak salah.Keyakinan si pemeriksa tidak bisa dijadikan dasar melakukan koreksi SPT. Bahkan teknik-teknik analisa yang dilakukan oleh pemeriksa juga tidak cukup untuk dijadikan dasar koreksi.
DJP boleh melakukan koreksi SPT jika ada bukti nyata*).Meminjam peraturan kepabeanan bahwa bukti nyata adalah bukti atau data berdasarkan dokumen yang benar-benar tersedia dan pada dokumen tersebut terdapat besaran, nilai atau ukuran tertentu dalam bentuk angka, kata dan/atau kalimat. Dokumen ini bisa berasal dari dokumen Wajib Pajak atau pihak lain.
Selain dokumen, keterangan juga bisa dijadikan dasar koreksi SPT. Sesuai definisi pemeriksaan di UU KUP bahwa pemeriksa pajak itu mengolah data, keterangan atau bukti.Saya menganggap bukti ini dokumen jika mengacu kepada aturan kepabeanan. Sedangkan keterangan tidak didefinisikan secara jelas [setidaknya setelah dicari di databese aturan perpajakan] kecuali dalam kamus bahwa keterangan adalah sesuatu yang menjadi petunjuk atau yang menyebabkan tahu. Jadi bisa saja keterangan ini informasi yang diberikan pegawai Wajib Pajak, pihak lain yang berhubungan dengan Wajib Pajak atau pihak lain yang independen. Apapun itu yang menyebabkan si pemeriksa pajak tahu bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.
Sistem Perpajakan di Indonesia
February 18, 2009
Sejak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983 yang merupakan awal dimulainya reformasi perpajakan Indonesia menggantikan peraturan perpajakan yang dibuat oleh kolonial Belanda (misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944), Indonesia telah mengganti sistem pemungutan pajaknya pula dari sistem official-assessment menjadi sistem self-assessment yang masih diterapkan sampai dengan sekarang. Sistem Self-assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.Self Assesment System antara lain :
1. Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada WP sendiri
2. Wajib Pajak Aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
Sebaliknya pada sistem official-assessment besarnya pajak yang seharusnya terutang ditetapkan sepenuhnya oleh Fiskus (aparat pajak). Kriteria dari Official Assesment system adalah :
1. Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus
2. Wajib Pajak bersifat pasif
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Perbedaannya kedua sistem ini terletak pada pemegang tanggung jawab (siapa) yang menetapkan besarnya pajak yang seharusnya terutang. Jika dalam sistem official-assessment penetapan besarnya jumlah pajak Wajib Pajak menjadi tanggung jawab Fiskus, sehingga segala resiko pajak yang akan timbul menjadi tanggung jawab Fiskus, misalnya terlambat membayar atau melapor dikarenakan keterlambatan Fiskus menetapkan besarnya jumlah pajak terutang Wajib Pajak yang harus dibayar. Keterlambatan ini bisa saja dikarenakan terbatasnya petugas pajak untuk menghitung jumlah pajak yang harus dibayar Wajib Pajak, yang nota bene tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem pemungutan pajaknya menjadi sistem self-assessment dimana penetapan besarnya jumlah pajak yang seharusnya terutang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri, sehingga segala resiko pajak yang timbul menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri pula. Di sini terlihat adanya pergeseran tanggung jawab dari Fiskus kepada Wajib Pajak, yang tanpa disadari Wajib Pajak bahwa hal ini akan menjadi beban berat dalam melaksanakan kewajban perpajakannya. Fiskus dalam sistem self-assessment hanya bertugas mengawasi pelaksanaannya saja yaitu dengan melakukan pemeriksaan atas kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.System self assessment yang kini dianut Indonesia memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang besar kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Hal ini akan berhasil apabila memenuhi beberapa syarat yang diharapkan ada dalam diri Wajib Pajak yaitu:
1. Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness)
2. Kejujuran Wajib Pajak
3. Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness)
4. Kedisiplinan Wajib Pajak (tax discipline) dalam melaksanakan peraturan perpajakan.
Dalam system ini terdapat pemberian kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk melakukan self assessment memberikan konsekuaensi yang berat bagi Wajib Pajak, artinya jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban-kewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat. Oleh karena itu system self assessment mewajibkan wajib pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Sistem ini juga dapat memberikan biaya tambahan (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya untuk membayar jasa konsultan pajak. Selain itu self assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula.
Di lain pihak system ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas pemerintahan lainnya. Selain itu system self assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas system perpajakan yang berlaku terhadapnya.
Selama pelaksanaan sistem self-assessment dimulai sejak pertama kali reformasi perpajakan dilakukan hingga saat ini (1983-2009), sudah empat kali UU KUP diubah yaitu tahun 1994, 1997, 2000 dan terakhir 2007.Perubahan yang dilakukan secara komprehensif ini membawa dampak bagi pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, terutama perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya.Sering kali mereka dihadapkan dengan keterbatasan informasi mengenai perubahan tersebut sehingga tidak sedikit yang akhirnya mendapat teguran dari Dirjen Pajak (DJP) karena tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.Dikarenakan Indonesia menganut sistem self-assessment, hal ini memaksa Wajib Pajak untuk selalu aktif mencari informasi-informasi perpajakan yang terbaru, terutama yang berkaitan dengan kegiatan usahanya.Namun, tindakan Wajib Pajak tersebut kurang effektif jika tidak dibarengi dengan kebijakan DJP dalam mensosialisasikan setiap informasi yang dipublikasikan kepada masyarakat.Hal ini patut diperhatikan karena tidak semua Wajib Pajak mengerti peraturan perpajakan tanpa adanya penjelasan dari DJP, sehingga dapat mencegah timbulnya kesalah-pahaman antara WP dengan Fiskus.
Di dalam melaksanakan sistem self-assessment, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti memberikan penyuluhan perpajakan (tax dissessmination), pelayanan perpajakan (tax service), dan pengawasan perpajakan (law enforcement).Hal tersebut harus dapat dilaksanakan secara optimal agar tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan haknya di bidang perpajakan. Penyuluhan perpajakan perlu dilakukan untuk mmberikan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan sistem self-assessment ini, karena tidak satu pasal pun dalam undang-undang perpajakan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem self-assessment kecuali di dalam penjelasan atas undang-undang R.I No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang berbunyi sebagai berikut:
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
a) Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
b) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c) Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (self-assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Dari penjelasan tersebut diharapkan Wajib Pajak lebih memahami kewajiban perpajakannya,namun apakah sistem self-assessment tersebut telah memenuhi kebutuhan Wajib Pajak dan Fiskus, dimana sistem tersebut harus dapat mengefisiensikan administrasi pajak yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam memungut pajak dan memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya.
Menurut Fritz Neumark, kemudahan dalam melakukan administrasi tercermin jika memenuhi empat syarat sebagai berikut:
a. The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan, antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus dibayar, di mana harus dibayar, hak-hak WP, sanksi hukum bagi WP maupun bagi pejabat pajak (kursif-pen) dan sebagainya.
b. The requirement of continuity, yaitu menyangkut perlunya kesinambungan kebijaksanaan, karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah dan bervariasi, tapi tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan.
c. The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan administrasi pajak (fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin, karena biaya dan tenaga yang dikorbankan untuk pemungutan pajak harus seimbang, dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari segi fiskus, tapi juga dari segi WP.
d. The requirement of convinience, yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan WP merasa senang, maksudnya tidak merasa tertekan, merasa diburu atas kewajiban membayar pajak. Misalnya, merasa senang karena dapat mencicil hutang pajak atau merasa senang karena tidak dipersulit dalam memperoleh kembali kelebihan membayar pajak.
Pelayanan di bidang perpajakan dilakukan untuk memberikan kenyamanan, keamanan dan kepastian bagi Wajib Pajak di dalam pemenuhan kewajiban dan haknya di bidang perpajakan.
Sistem self assessment bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.Namun system ini juga membuka adanya kemungkinan penyimpangan dari Wajib Pajak untuk tidak melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar.Direktorat Jendral pajak sebagai instansi yang diberi wewenang untuk menerapkan kebijakan dalam rangka mengawasi dan menjaga penerimaan pajak wajib untuk melakukan berbagai tindakan agar system self assessment berjalan dengan baik.
Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan system self assessment, Dirjen Pajak melakukan dua fungsi utama :
1. Fungsi pemeriksaaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Untuk meyakinkan sistem self-assessment dilaksanakan dengan baik, perlu dilakukan pengawasan (Law enforcement) dalam pelaksanaannya.Peran pengawasan ini dilakukan oleh Fiskus dalam bentuk pemeriksaan (tax audit) dengan maksud menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, kemudian penyidikan pajak (tax investigation) dan terakhir berupa penagihan pajak (tax collection).
Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam self-assessment system ada ketentuan bahwa pelaporan WP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan .Pembuktian tersebut dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Pada prinsipnya pemeriksaan merupakan kegiatan mengumpulkan bukti/bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali pemeriksaan tersebut merupakan kegiatan rutin yang bukan insidental.
Hampir serupa dengan tujuan pemeriksaan pajak, penyidikan pajak dilakukan sebagai salah satu upaya DJP untuk menindak WP yang telah melakukan tindakan pidana dalam bidang perpajakan. Menurut undang-undang perpajakan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan terjadinya tindakan pidana dalam perpajakan apabila WP melakukan hal-hal seperti alpa, sengaja, percobaan dan pengulangan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan penyidikan untuk mencari dan mengumpilkan bukti serta memperjelas tindak pidana pajak yang telah dilakukan WP.
Terakhir, penagihan pajak dilakukan apabila terdapat selisih perhitungan pajak terutang dalam SPT yang dilaporkan oleh WP dengan perhitungan menurut Fiskus sehingga timbul pajak terutang kurang bayar. Oleh karena itu, DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk Wajib Pajak yang bersangkutan. Penagihan pajak juga dilakukan atas sanksi admnistrasi pajak berupa bunga dan denda yang timbul akibat kelalaian Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang belum dilunasi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Dalam praktiknya, sistem self-assessment ini masih terbentur dengan beberapa kendala, diantaranya sebagai berikut:
1. Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri masih diragukan kebenarannya,oleh karena itu dapat menimbulkan terjadinya penyeludupan pajak karena yang mengetahui kebenaran SPT yang dilaporkan WP hanya ia sendiri.
2. Masih banyaknya Wajib Pajak yang kesulitan untuk menghitung/memperhitungkan pajak yang terutang, karena di dalam undang-undang tidak dijelaskan secara terinci bagaimana menghitung pajak terutang untuk berbagai jenis usaha, sehingga banyak perusahaan yang akhirnya melakukan kesalahan dalam menghitung pajak terutangnya. Lain halnya ketika WP harus melakukan rekonsiliasi laporan keuangan komersial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan menjadi laporan keuangan fiskal.Seperti yang dilakukan di Belanda, dimana laporan keuangan fiskal merupakan by product dari akuntansi komersial.
3. Kendala juga tidak terjadi di pihak WP, di pihak fiskus juga terjadi masalah yaitu terbatasnya akses data Wajib Pajak yang dimiliki oleh pihak ketiga sehingga mempersulit DJP untuk mendeteksi kebenaran isi SPT yang dilaporkan WP. Sehingga pengawasan tidak dapat dilakukan secara optimal.
Sejauh ini pelaksanaan sistem self-assessment masih dipertahankan sesuai dengan yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28 tahun 2007.Perubahan undang-undang yang terakhir ini sudah lebih banyak menunjukkan perkembangannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Fasilitas pelayanan pun sudah ditingkatkan dengan adanya modernisasi di kantor-kantor pelayanan pajak sehingga lebih memudahkan akses WP untuk mencari informasi perpajakan terkini, dan WP yang memilki mobilitas tinggi.
Untuk menilai kinerja sistem pemungutan pajak ini, diperlukan beberapa alat ukur, menurut penelitian Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir, diantaranya :
1. Penerimaan pajak
2. Tax ratio (tax coverage ratio dan tax buoyancy ratio)
3. Jumlah pertambahan Wajib Pajak
4. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak (voluntary compliance)
Dari hasil penelitian tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa kinerja sistem self-assessment kita masih belum optimal.Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak diantaranya yaitu tax amnesty dan SIN (Single Identification Number) yang sedang dikembangkan oleh Dirjen Pajak.Pemberian tax amnesty baru terealisasi dalam bentuk Sunset Policy (soft amnesty) yaitu menghapuskan seluruh atau sebagian sanksi administrasi Wajib Pajak yang diberlakukan untuk periode satu tahun (berakhir pada tanggal 31 Des 2008). Dirjen pajak juga telah mereformasi undang-undang Pajak Penghasilan yang diberlakukan mulai 1 Januari 2009, dimana tarif dasar penghitungan pajak hanya ada satu lapis (single rate tax) untuk WP Badan dan PTKP lebih tinggi untuk WP Orang Pribadi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah Wajib Pajak memperhitungkan pajak terutangnya dalam rangka mendukung sistem self-assessment.
PENDAFTARAN
Sesuai dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
Disamping melalui KPP atau KP4, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-register, yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet).
Fungsi NPWP adalah :
-sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
-sebagai identitas Wajib Pajak.
-menjaga ketetiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
-Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
Dengan memiliki NPWP, Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, seperti : sebagai pembayaran pajak di muka (angsuran/kredit pajak) atas Fiskal Luar Negeri yang dibayar sewaktu Wajib Pajak bertolak ke Luar Negeri, memenuhi salah satu persyaratan ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan salah satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank.
A.NPWP
NPWP adalah
nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana yang merupakan tanda pengenal atau identitas bagi setiap Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada KPP, atau KP4 dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi yang diperlukan, atau dapat pula mendaftarkan diri secara on-line melalui e-register.
Syarat-syarat pendaftaran Wajib Pajak :
1.Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dokumen yang diperlukan hanya berupa Fotokopi KTP yang masih berlaku atau Kartu Keluarga.
2.Bagi Wajib Pajak Badan, dokumen yang diperlukan antara lain :
a.Fotokopi Akte Pendirian Perusahaan;
b.Fotokopi KTP Pengurus; dan
c.Surat Keterangan Kegiatan Usaha dari Lurah.
Kepada Wajib Pajak diberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) paling lambat pada hari kerja berikutnya dan Kartu NPWP diberikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya permohonan secara lengkap.Perlu diketahui masyarakat bahwa untuk pengurusan NPWP tersebut di atas TIDAK DIPUNGUT BIAYA APAPUN.
B.Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP)
Setelah memperoleh NPWP, Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada KPP, KP4, atau dapat pula dilakukan secara on-line melalui e-register. Dalam rangka pengukuhan sebagai PKP tersebut maka akandilakuan penelitian setempat mengenai keberadaan dan kegiatan usaha yang bersangkutan. Dengan dikukuhkannya Pengusaha sebagai PKP maka atas penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak, wajib diterbitkan Faktur Pajak.
Disamping melalui KPP atau KP4, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-register, yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet).
Fungsi NPWP adalah :
-sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
-sebagai identitas Wajib Pajak.
-menjaga ketetiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
-Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
Dengan memiliki NPWP, Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, seperti : sebagai pembayaran pajak di muka (angsuran/kredit pajak) atas Fiskal Luar Negeri yang dibayar sewaktu Wajib Pajak bertolak ke Luar Negeri, memenuhi salah satu persyaratan ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan salah satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank.
A.NPWP
NPWP adalah
nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana yang merupakan tanda pengenal atau identitas bagi setiap Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada KPP, atau KP4 dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi yang diperlukan, atau dapat pula mendaftarkan diri secara on-line melalui e-register.
Syarat-syarat pendaftaran Wajib Pajak :
1.Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dokumen yang diperlukan hanya berupa Fotokopi KTP yang masih berlaku atau Kartu Keluarga.
2.Bagi Wajib Pajak Badan, dokumen yang diperlukan antara lain :
a.Fotokopi Akte Pendirian Perusahaan;
b.Fotokopi KTP Pengurus; dan
c.Surat Keterangan Kegiatan Usaha dari Lurah.
Kepada Wajib Pajak diberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) paling lambat pada hari kerja berikutnya dan Kartu NPWP diberikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya permohonan secara lengkap.Perlu diketahui masyarakat bahwa untuk pengurusan NPWP tersebut di atas TIDAK DIPUNGUT BIAYA APAPUN.
B.Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP)
Setelah memperoleh NPWP, Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada KPP, KP4, atau dapat pula dilakukan secara on-line melalui e-register. Dalam rangka pengukuhan sebagai PKP tersebut maka akandilakuan penelitian setempat mengenai keberadaan dan kegiatan usaha yang bersangkutan. Dengan dikukuhkannya Pengusaha sebagai PKP maka atas penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak, wajib diterbitkan Faktur Pajak.
- Berdasarkan sistem self assessment setiap WP wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, untuk diberikan NPWP.
- Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
- Wajib PajakOrang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
- Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
- WP Orang Pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.
Tata cara Pendaftaran NPWP
Untuk mendapatkan NPWP Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) setempat dengan melampirkan:- Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau foto kopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing.
- Untuk WP Orang Pribadi Usahawan :
- Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing;
- Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
- Untuk WP Badan :
- Fotokopi akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukkan dari kantor pusat bagi BUT;
- Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus aktif;
- Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang minimal kabupaten
- Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/ Pemotong:
- Fotokopi KTP bendaharawan;
- Fotokopi surat penunjukkan sebagai bendaharawan.
- Untuk Joint Operation sebagai wajib pajak Pemotong/pemungut:
- Fotokopi perjanjian kerja sama sebagai joint operation;
- Fotokopi NPWP masing-masing anggota joint operation;
- Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus joint operation.
- Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus melampirkan foto kopi surat keterangan terdaftar.
- Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.
Wajib Pajak Pindah
Dalam hal WP pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha, WP melaporkan diri ke KPP lama maupun KPP baru dengan ketentuan:- Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan Pindah tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah surat keterangan tempat tinggal baru atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru dari instansi yang berwenang (Lurah atau Kepala Desa)
- Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usaha, Surat keterangan tempat tinggal baru dari Lurah atau Kepala Desa, atau surat keterangan dari pimpinan instansi perusahaannya.
- Wajib Pajak Badan, Pindah tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha adalah surat keterangan tempat kedudukan atau tempat kegiatan yang baru dari Lurah atau Kepala Desa.
Penghapusan NPWP dan Persyaratannya
- WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya fotokopi akte kematian atau laporan kematian dari instansi yang berwenang;
- Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;
- Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak. Apabila sudah selesai dibagi, disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut dibagi oleh para ahli waris;
- WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte pembubaran yang dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang;
- Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;
- WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP.
Penerbitan NPWP Secara Jabatan
KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan, apabila WP tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP. Bila berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP maka terhadap wajib pajak yang bersangkutan dapat diterbitkan NPWP secara sepihak oleh Direktorat Jenderal Pajak.GHHSanksi yang berhubungan dengan NPWP
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. A.Berdasarkan PER-31 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pemotongan, Penyetoran PPh Pasal 21 Pasal 20;1)Bagi penerima penghasilan yang PPh pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki NPWP 2)Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 3)Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final 4)Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghaslan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terhutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
PELAPORAN
PEMBAYARAN
Reformasi sistem perpajakan Indonesia terjadi pada tahun 1983 dan berlaku mulai 1 Januari 1984 mengubah dari office assessment system menjadi self assessment system. Artinya, pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang dahulu ditetapkan oleh kantor pajak sekarang dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajak-pajaknya.
Nah, sebelum wajib pajak melaporkan pajaknya ke kantor pajak terlebih dulu menyetor pajak yang sudah dihitung ke bank maupun kantor pos. Sarana penyetoran pajak adalah Surat Setoran Pajak (SSP). SSP terdiri dari 4 lembar, lembar 1 untuk wajib pajak, lembar 2 untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), lembar 3 untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan lembar 4 untuk bank/kantor pos. Di dalam SSP ada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan nama penyetor, kode akun pajak dan kode jenis setoran yang diisi sesuai jenis pajak yang dibayar, uraian pembayaran, kode ketetapan apabila ternyata pajak yang disetor masih ada yang kurang dibayar, tanda tangan penyetor dan Kantor Penerima Pembayaran, serta validasi Kantor Penerima Pembayaran.
Setelah SSP diisi dan disetorkan ke bank/kantor pos nantinya kepada wajib pajak diberikan kembali lembar 1 SSP untuk arsip wajib pajak (disimpan jangan sampai hilang) dan lembar 3 SSP untuk dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak. Dari bank/kantor pos, pajak yang dibayar langsung masuk ke kas negara.
Pembayaran pajak di atas berlaku bagi jenis pajak yang sudah menggunakan self assessment system yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Meterai. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih menggunakan office assessment system.
Pembayaran PBB dilakukan setiap tahun setelah Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak dan dibagikan kepada wajib pajak oleh pemerintah daerah setempat. Pembayaran bisa dilakukan pada saat petugas datang membagikan SPPT atau langsung ke kantor kelurahan atau kepala desa. Tanda terima pembayaran yang diberikan masih bersifat sementara sebelum disetorkan ke bank oleh petugas pemungut.Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB baru diberikan bank setelah petugas pemungut menyetorkan ke bank.Pembayaran juga bisa dilakukan langsung di bank yang ditunjuk dengan membawa SPPT dan langsung mendapatkan STTS.Jika anda belum sempat ke bank bisa juga melalui atm dan menyimpan struk transaksi untuk kemudian kalau ada waktu senggang ditukar ke bank dengan STTS.
Bagaimana dengan pembayaran BPHTB?
BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) sekarang sudah menjadi pajak daerah.Pajak ini dibayar oleh pembeli atau penerima hak atas perolehan tanah dan/atau bangunan. Pada saat masih pajak pusat sebelum tahun 2011, pembayaran dilakukan dengan menggunakan SSB (Surat Setoran BPHTB)
PEMBETULAN SPT
Bagaimanakah tata cara pembetulan SPT Tahunan?
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana diatas menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan dan Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Jika Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak baik karena kealpaannya sehingga dapat mengakibatkan kerugian negara , maka atas perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan :
- Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil.
- Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar.
- Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil.
- Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran diatas harus dilumasi oleh Wajib Pajak beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
Dapat di ringkas
|
PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Membayar sendiri pajak yang terutang:
- Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu: - Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha - Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
|
5%
|
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,-
|
15%
|
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,-
|
25%
|
di atas Rp 500.000.000,-
|
30%
|
- Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,- - Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah: - Pemberi penghasilan;
- Pemberi kerja; atau
- Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
- Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya. - Pembayaran Pajak-pajak lainnya:
- Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu.
Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,- - Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.
Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,- dan surat-surat perjanjian terutang materai tempel sebesar Rp6.000,-. - Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut: - PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya. - PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah: - Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
- Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
- Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
- Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;
- Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
- PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan. - PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan. - PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut. - PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.
Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut. - PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp 600.000.000,- setahun atau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak.
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar.
Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar.
Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
- Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
- Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.
- Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
- Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
Pelaporan Pajak
Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Perpajakan, Surat Pemberitahuan (SPT) mempunyai fungsi sebagai suatu sarana bagi Wajib Pajak di dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak yang sebenarnya terutang. Selain itu Surat Pemberitahuan berfungsi untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan Pajak baik yang dilakukan Wajib Pajak sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemotong/pemungut, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan dan pemungutan Pajak yang telah dilakukan.
Sehingga Surat Pemberitahuan mempunyai makna yang cukup penting baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur Pajak.Pelaporan Pajak disampaikan ke KPP atau KP2KP dimana Wajib Pajak terdaftar. SPT dapat dibedakan sebagai berikut:- SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukanPelaporan atas pembayaran Pajak bulanan.
Ada beberapa SPT Masa yaitu: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPN dan PPnBM, serta Pemungut PPN - SPT Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untukPelaporan tahunan.
Ada beberapa jenis SPT Tahunan: Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi
Saat ini khusus untuk SPT Masa PPN sudah dapat disampaikan secara elektronik melalui aplikasi e-Filing.Penyampaian SPT Tahunan PPh juga dapat dilakukan secara online melalui aplikasi e-SPT.
KeterlambatanPelaporan untuk SPT Masa PPN dikenakan denda sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), dan untuk SPT Masa lainnya dikenakan denda sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah). Sedangkan untuk keterlambatan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi khususnya mulai Tahun Pajak 2008 dikenakan denda sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah), dan SPT Tahunan PPh Badan dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Berikut batas waktu pembayaran danPelaporan untuk kewajiban perpajakan bulanan:KeterlambatanPelaporan untuk SPT Masa PPN dikenakan denda sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), dan untuk SPT Masa lainnya dikenakan denda sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah). Sedangkan untuk keterlambatan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi khususnya mulai Tahun Pajak 2008 dikenakan denda sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah), dan SPT Tahunan PPh Badan dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
No
|
Jenis SPT
|
Batas Waktu Pembayaran
|
Batas WaktuPelaporan
|
Masa
| |||
1
|
PPh Pasal 4 ayat (2)
|
Tgl. 10 bulan berikut
|
Tgl. 20 bulan berikut
|
2
|
PPh Pasal 15
|
Tgl. 10 bulan berikut
|
Tgl. 20 bulan berikut
|
3
|
PPh Pasal 21/26
|
Tgl. 10 bulan berikut
|
Tgl. 20 bulan berikut
|
4
|
PPh Pasal 23/26
|
Tgl. 10 bulan berikut
|
Tgl. 20 bulan berikut
|
5
|
PPh Pasal 25 (angsuran Pajak) untuk Wajib Pajak orang pribadi dan badan
|
Tgl. 15 bulan berikut
|
Tgl. 20 bulan berikut
|
6
|
PPh Pasal 25 (angsuran Pajak) untuk Wajib Pajak kriteria tertentu yang diperbolehkan melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa
|
Akhir masa Pajak terakhir
|
Tgl.20 setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir
|
7
|
PPh Pasal 22, PPN & PPn BM oleh Bea Cukai
|
1 hari setelah dipungut
|
Hari kerja terakhir minggu berikutnya (melapor secara mingguan)
|
8
|
PPh Pasal 22 - Bendahara Pemerintah
|
Pada hari yang sama saat penyerahan barang
|
Tgl. 14 bulan berikut
|
9
|
PPh Pasal 22 - Pertamina
|
Sebelum Delivery Order dibayar
| |
10
|
PPh Pasal 22 - Pemungut tertentu
|
Tgl. 10 bulan berikut
|
Tgl. 20 bulan berikut
|
11
|
PPN dan PPn BM - PKP
|
Akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan
|
Akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
|
12
|
PPN dan PPn BM - Bendaharawan
|
Tgl. 7 bulan berikut
|
Tgl. 14 bulan berikut
|
13
|
PPN & PPn BM - Pemungut Non Bendahara
|
Tgl. 15 bulan berikut
|
Tgl. 20 bulan berikut
|
14
|
PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15,21,23, PPN dan PPnBM Untuk Wajib Pajak Kriteria Tertentu
|
Sesuai batas waktu per SPT Masa
|
Tgl.20 setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir
|
Berikut batas waktu pembayaran danPelaporan untuk kewajiban perpajakan tahunan:
No
|
Jenis SPT
|
Batas Waktu Pembayaran
|
Batas WaktuPelaporan
|
Tahunan
| |||
1
|
PPh - Orang Pribadi
|
Sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan
|
akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun Pajak
|
2
|
PPh - Badan
|
Sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan
|
akhir bulan keempat setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun Pajak
|
3
|
PBB
|
6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
|
----
|
Pelaporan pajak dapat disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) di mana WP terdaftar.SPT dapat dibedakan menjadi (1) SPT Masa dan (2) SPT Tahunan.Yang dimaksud SPT Masa adalah SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak pada masa tertentu (bulanan). Ada 9 (sembilan) jenis SPT Masa, meliputi SPT Masa untuk melaporkan pembayaran bulanan: (1) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, (2) PPh Pasal 22, (3) PPh Pasal 23, (4) PPh Pasal 25, (5) PPh Pasal 26, (6) PPh Pasal 4 (2), (7) PPh Pasal 15, (8) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas BArang Mewah (PPnBM) dan (9) Pemungut PPN.
Sedangkan apa yang dimaksud dengan SPT Tahunan adalah SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan. Ada dua jenis SPT Tahunan, yaitu (1) SPT Tahunan PPh WP Badan, dan (2) SPT Tahunan WP Orang Pribadi (OP).
Pada saat ini untuk penyampaian SPT Masa PPN dan SPT Tahunan PPh WP OP khusus formulir 1770S dan 1770SS telah dapat dilakukan secara online melalui aplikasi e-Filing.Penyampaian SPT juga dapat dilakukan secara elektronik melalui aplikasi e-SPT yang dapat diunduh pada situs Direktorat Jenderal Pajak (DJP) www.pajak.go.id.
Ada tanggal batas waktu pembayaran/penyetoran pajak dan batas waktu pelaporan SPT Masa maupun SPT Tahunan. Pertama, untuk PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21/26 dan PPh Pasal 23/26, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
Kedua, untuk PPh Pasal 25 (angsuran pajak) untuk WP OP dan Badan, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masanya adalah tanggal 20 bulan berikutnya. Ketiga, untuk PPh Pasal 25 (angsuran pajak) untuk WP Kriteria Tertentu (diperbolehkan melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu pelaporan SPT Masa), maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada akhir masa pajak terakhir, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
Keempat, untuk PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM oleh Bea Cukai, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah 1 (satu) hari setelah dipungut, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah pada hari kerja terakhir minggu berikutnya (melapor secara mingguan).
Kelima, untuk PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada hari yang sama saat penyerahan barang, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah tanggal 14 bulan berikutnya.
Keenam, untuk PPh Pasal 22 Pertamina, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sebelumdelivery order dibayar.
Ketujuh, untuk PPh Pasal 22 Pemungut Tertentu maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
Kedelapan, untuk PPN dan PPn BM bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
Kesembilan, untuk PPN dan PPn BM bagi Bendaharawan, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada tanggal 7 bulan berikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah pada tanggal 14 bulan berikutnya.
Kesepuluh, untuk PPN dan PPn BM bagi Pemungut Non Bendaharawan, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah pada tanggal 20 bulan berikutnya.
Kesebelas, untuk PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPN dan PPnBM bagi WP Kriteria Tertentu, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sesuai batas waktu per SPT Masa, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah pada tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
Keduabelas, untuk PPh WP OP, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sebelum SPT Tahunan PPh WP OP disampaikan, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Tahunan-nya adalah pada akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak.
Ketigabelas, untuk SPT Tahunan PPh WP Badan, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sebelum SPT Tahunan PPh WP Badan disampaikan, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Tahunan-nya adalah pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak.
Terakhir, keempatbelas, untuk PBB, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB.
Keterlambatan pelaporan untuk SPT Masa PPN dikenakan denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), sedangkan keterlambatan pelaporan SPT Masa lainnya dikenakan denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Selanjutnya untuk keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh WP OP khususnya mulai Tahun Pajak 2008 dikenakan denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah), dan keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh WP Badan dikenakan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Dengan mengetahui batas-batas tanggal pembayaran dan pelaporan perpajakan diharapkan WP lebih patuh dalam menyetorkan pajak ke bank dan melaporkannya sesuai batas waktu yang ditentukan. Bangga Bayar Pajak!
PENCATATAN DAN PEMBUKUAN
Pembukuan dan Pencatatan Bagi Wajib Pajak
Kamis, 8 Maret 2012 - 13:46
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
A. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah).
1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah).
B. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
C. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
D. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
E.Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
F. Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah
Wajib Pajak yang diperkenankan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat adalah :
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing;
2. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah RI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan Pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
3. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
4. Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang terkait;
5. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerikat Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawasa Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
7. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang- Undang Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak yang diperkenankan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat adalah :
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing;
2. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah RI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan Pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
3. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
4. Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang terkait;
5. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerikat Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawasa Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
7. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang- Undang Pajak Penghasilan.
G. Tata Cara Pengajuan Penyelenggaraan Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah
Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh WP harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan :
1. Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satauan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai;
2. Sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan keputusan maka permohonan WP tersebut dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uangan Dollar Amerika Serikat.
WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sejak pendiriannya maupun yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pendirian (bagi WP yang sudah menyelenggarakan sejak pendiriannya) atau 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai (bagi WP yang belum menyelenggarakan sejak pendiriannya).
WP yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat namun merencanakan untuk tidak memanfaatkan izin tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan pembatalan secara tertulis ke KPP dalam hal Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam surat izin belum dimulai dan pemberitahuan tersebut harus sudah diterima oleh KPP sebelum Tahun Pajak tersebut dimulai.
Apabila penyelenggaraan pembukuan tersebut sudah dimulai, maka wajib mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis ke KPP paling lama 3 (tiga) bulan setelah tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai. Bagi WP Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang telah memberitahukan ke KPP untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, namun WP tersebut akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata Rupiah, wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata uang Rupiah tersebut dimulai.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pembatalan penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan keputusan, maka permohonan dianggap diterima. WP yang mengajukan permohonan tersebut tidak diperbolehkan lagi menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak izin tersebut dicabut.
H. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/DokumenPenyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh WP harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan :
1. Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satauan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai;
2. Sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan keputusan maka permohonan WP tersebut dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uangan Dollar Amerika Serikat.
WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sejak pendiriannya maupun yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pendirian (bagi WP yang sudah menyelenggarakan sejak pendiriannya) atau 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai (bagi WP yang belum menyelenggarakan sejak pendiriannya).
WP yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat namun merencanakan untuk tidak memanfaatkan izin tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan pembatalan secara tertulis ke KPP dalam hal Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam surat izin belum dimulai dan pemberitahuan tersebut harus sudah diterima oleh KPP sebelum Tahun Pajak tersebut dimulai.
Apabila penyelenggaraan pembukuan tersebut sudah dimulai, maka wajib mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis ke KPP paling lama 3 (tiga) bulan setelah tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai. Bagi WP Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang telah memberitahukan ke KPP untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, namun WP tersebut akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata Rupiah, wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata uang Rupiah tersebut dimulai.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pembatalan penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan keputusan, maka permohonan dianggap diterima. WP yang mengajukan permohonan tersebut tidak diperbolehkan lagi menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak izin tersebut dicabut.
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Perubahan Tahun Buku Dan Metode Pembukuan Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang atau Jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.
Pencatatan
Pencatatan yaitu pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final .
Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
a. Wajib Pajak (WP) Badan
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
a. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
c. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
d. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan
e. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
f. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
g. Dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak wajib disimpan selama sepuluh tahun.
Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Adalah untuk mempermudah:
a. Pengisian SPT
b. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
c. Penghitungan PPN dan PPnBM,
d. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah
Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan dalam rangka Penanaman Modal Asing; Kontrak Karya; Kontrak Bagi Hasil; BUT; dan WP yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri.
Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain WAJIB disimpan di Indonesia, yaitu untuk :
a. WP orang pribadi, di tempat kegiatan atau tempat tinggal;
b. WP badan, di tempat kedudukan.
Perubahan Tahun Buku Dan Metode Pembukuan
Perubahan tahun buku dan perubahan metode pembukuan harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Thank's atas infonya....
BalasHapuskalau boleh tau , sumbernya dari mana ya mas . :)
BalasHapus